PERADABAN & NONGKI-NONGKI CANCI

Oleh: Salim A. Fillah

Jika berkunjung ke Klinik Kopi di Yogyakarta yang diasuh oleh Mas Pepeng, roaster jamhur kelas wahid itu, selain tulisan "Jangan Ada Gula Di Antara Kita", kita juga akan menemukan nasehat lain berbunyi, "No Wifi, Talk Eachother."

Kegagapan sosial kita makin parah dengan ponsel pintar & gawai yang kian daring. Maka kedai kopi ini mengambil tanggung jawab untuk memberi terapi, atau setidaknya ruang jeda agar interaksi langsung kita sebagai sesama manusia terasah lagi.

Betapa berharganya saat anak-anak kita merasa bahwa ayah & ibunya jauh lebih asyik dibanding gadget ketika disentuh & dipencet-pencet.

Maafkan saya yang harus memberi judul aneh pada tulisan ini; nongki-nongki canci. Yang sudah menyaksikan film #kmgpthemovie tentu tahu bahwa ia ada dalam dialog yang diucapkan Tika, teman Gita, kepada Mas Gagah. Saya menebak maknanya adalah nongkrong-nongkrong cantik.

Nongki-nongki canci ternyata pernah mengubah sebuah peradaban.

Adalah Frans Johansson, seorang penggugah inovasi, menulis buku berjudul The Medici Effect. Keluarga Medici, yang berkuasa di kota Firenze, Italia, pada abad pertengahan, menurutnya adalah penyaham terbesar bagi Renaissans.

Ketika Eropa berada di zaman kegelapan, keluarga ini dengan amat bersemangat menyelenggarakan berbagai perjamuan & mengundang para Astronom, Matematikawan, Kimiawan, Filsuf, Ahli Geografi, Insinyur, Pematung, Pelukis, Pengembara, Sarjana Theologia, bahkan para Fuqaha ahli hukum Islam. Mereka datang dari berbagai bangsa; Arab, Persia, Turki, Berber, Slavia, Yunani, & Jermania. Yang datang dari jauh diberi tempat. Yang tinggalnya dekat diantar jemput.

Dengan semangat, para ahli berbagai bidang itu membualkan segala hasil telaah mereka, mempertarungkan gagasan satu dengan yang lain dengan amat bebasnya. Tentu sambil nongki-nongki canci.

Maka istana keluarga Medici menjelma menjadi sebuah melting pot, suatu titik-temu; sebuah tempat di mana gagasan-gagasan dari aneka bidang dan budaya bertemu, berbenturan, dan akhirnya menyulut sebuah ledakan dahsyat penemuan baru. Dari sini, demikian sejarawan sepakat, aufklarung pencerahan Eropa terbit.

Di foto ini saya nongki-nongki canci bersama seorang berkaos "Kalau Ke Jogja Mampir Jogokariyan."

Namanya Pak Ismail, karyawan Badan Tenaga Atom Internasional, IAEA, yang ahli mencicip kopi. Tempatnya? Masih Kahlenberg di atas kota Vienna, yang menurut legenda pada 1683 saat tentara Turki ditarik mundur dari tempat ini, pasukan Jan III Sobieski menemukan buntalan-buntalan berisi bebijian aneh yang dikira pakan unta. Dia memberikannya pada seorang prajurit bernama Jerzy Franciszek Kulczycki, yang setelah membauinya berulangkali merebusnya & menambahkan krim susu lalu meminumnya.

Kulczycki kelak dikenal sebagai peletak dasar Viennese Coffehouse yang menjadi warisan budaya tak benda versi Unesco dengan deskripsi, "Tempat di mana ruang & waktu dikonsumsi, tapi yang ada dalam tagihan hanya kopi."

Saya teringat Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin itu; yang memulai dakwahnya bukan di Masjid-masjid, melainkan di kedai kopi-kedai kopi, tempat para buruh pelabuhan & pekerja kasar berjumpa melepas lelah. Di sanalah dia dengarkan berbagai keluhan mereka, memahami aneka masalahnya, & merangkul mereka untuk membangun sebuah jama'ah dakwah terbesar di dunia. Seperti kisah Mas Gagah, nongki-nongki cancinya perlahan memang berpindah, dari kafe ke Masjid.

Maka saya ingat pula pada adik saya yang berkulit beda warna, he he, Yudi, dalam #kmgpthemovie. Dia memilih tempat dakwahnya di bus-bus kota, tempat para pekerja kantoran, pelajar, pedagang, juga copet nongki-nongki meski tak terlalu canci.

Pertanyaannya; apa Shalih(in+at) sudah menyaksikan film tentang nongki-nongki canci yang sepertinya akan segera digulung layarnya jika tak bertambah penontonnya ini? #kmgpthemovie

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.