Menghindari Kekerasan Seksual Pada Anak
Seberapa sering kita mendengar berita mengenai tindak kekerasan
seksual pada anak-anak? Sering? Apa reaksi kita sebagai orangtua? Takut?
Khawatir? Cemas? Bingung? Marah? Apapun yang dirasakan, pernahkah kita
refleksi sendiri, bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita?
Menggantikan baju di muka umum, misalnya. “Ah, anak saya baru 4
tahun, nggak apa-apalah.” Atau memakaikan pakaian renang ala bikini
dengan alasan, “Lucu, lagipula masih 2 tahun ini.” Hello, masih ingat berita mengenai perkosaan terhadap bayi usia 8 bulan tahun lalu?
Urusan kekerasan seksual, untuk usia berapa pun, saya rasa kita wajib parno!
Jika dulu biasanya yang menyukai anak-anak secara seksual disebut
sebagai pedofili, maka hemat saya sekarang ini, semua bisa melakukannya.
Amit-amiiiiit jangan sampe (terjadi)!
Makanya, ketika tema dari salah satu seminar Tetralogy Supermoms adalah Hindari Anak Dari Kekerasan Seksual,
saya mengikutinya dengan seksama. Ini masalah serius sekali. Bukan
karena anak saya perempuan, tapi bagi semua orangtua masalah ini
penting.
Warning: artikel ini akan banyak sekali
kalimat tanya, karena memang banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang
harus kita jawab secara jujur dan terkejut dengan jawabannya :D
Apa saja yang termasuk kekerasan seksual?
Menunjukkan kemaluan, membelai anak atau menyentuh bagian sensitif anak, atau bahkan melakukan perkosaan.
Yang ‘enteng’ seperti mengolok-olok atau bercanda yang menjurus porno
atau menyingkap rok teman, misalnya juga termasuk tindak kekerasan
seksual.
Siapa yang melakukannya?
Ternyata, di negara manapun, pelaku tindak kekerasan seksual anak
adalah orang yang dikenal. Mereka melakukannya dengan mengancam atau
merayu anak.
Kenapa bisa terjadi?
Saya tidak mau membahas dari sisi pelaku. Satu kata saja, sih, untuk
mereka: rusak! Ya, rusak mentalnya karena pengaruh pornografi yang
semakin merajalela. Seberapa sering kita melihat berita perkosaan atau
kekerasan seksual di mana pelakunya kemudian mengakui bahwa mereka baru
melihat konten pornografi?
Dari sisi sebagai orangtua, kita sering menghiraukan perasaan anak.
Kebanggaan kita kadang hanyalah seputar kalau anak pintar makan, pintar
menulis, membaca, juara kelas, rajin belajar, dan hal-hal fisik
semacamnya. Bagaimana dengan perasaan mereka? Konsep diri mereka?
Sudahkah kita memikirkannya? Sudahkah kita mengajarkannya?
Saya berbagi cerita sedikit, beberapa waktu lalu, ada seorang anak
dari kerabat saya yang mengalami tindak kekerasan seksual. Ia baru duduk
di kelas 3 Sekolah Dasar. Setelah menjadi korban, ia tidak bercerita
pada ibunya, ia memilih untuk bercerita pada temannya. Temannya ini lalu
cerita ke mamanya, dan mamanya lah yang bercerita pada kerabat saya
tersebut.
Pahamkah maksud saya? Kita memang harus berperilaku sebagai orangtua,
tapi tetap kita harus menjadi orang kepercayaan anak. Di mana anak
harus bisa bercerita masalah apapun kepada kita. Terutama jika musibah
terjadi pada dirinya.
Sakit sekali hati kerabat saya saat itu. Sudah anaknya menjadi korban
tindak kekerasan seksual, ia merasa tidak dipercaya pula karena buah
hatinya memilih menceritakan tragedi itu ke temannya, bukan ke ibunya.
Singkat cerita, si pelaku ‘diadili’ oleh pemuka agama sekitar. Ia pun
mengaku bahwa sering menyaksikan konten pornografi. Dan salah satu
konten tersebut ia dapatkan dari, jengjeng ... HP milik mamanya. Ingat artikel Mendidik Anak Di Era Digital?
O, ya, pelaku masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, lho!
Yang bisa kita tarik dari cerita ini adalah, komunikasi itu penting!
Bukan sekedar, “Kamu udah makan belum?”, “Ada PR nggak, hari in?”, “Ayo,
mandi dulu”, “Besok ulangan, sudah belajar belum?”, “Kamu main melulu,
belajar dong!”. Apalagi kalau kita melakukannya sambil melakukan hal
lain, seperti misalnya pegang smartphone, scrolling timeline Twitter #jleb.
Kenali anak, siapa sahabatnya, di sekolah bergaul dengan siapa,
perasaannya hari itu bagaimana. Sisihkan waktu setiap hari untuk
menjalin komunikasi. Di mana antara kita dan anak hanya ngobrol, tidak
diganggu dengan hal lain.
Ajari anak untuk berpikir kritis. Caranya bagaimana? Dengan
memberikan kesempatan anak untuk memilih, bukan menjalankan perintah.
Misalnya, “Kamu mau makan apa hari ini?” bukan “Kamu makan pakai telur
saja, ya” (itu contoh mudahnya). Contoh lain, “Pacaran itu apa ya, Ma?”,
jangan buru-buru menjawab “Eh, anak kecil nggak boleh pacaran.” Tahu,
kan, manusia itu semakin dilarang malah jadi penasaran? Sebaiknya,
tanyakan pada anak, “Menurut kamu pacaran itu apa?”, dari jawabannya
ini, baru kita bisa memberikan jawaban lagi. Kalau saya, sih, dengan
jawaban si anak, setidaknya kita bisa cek sejauh mana pembicaraan anak
dengan teman-temannya (asumsi bahwa kata pacaran ini dibicarakan oleh
anak dengan teman-temannya, ya)
Pertanyaan-pertanyaan pada anak, membuat anak berpikir dan memeriksa
dirinya. Mungkin jawaban yang didapat nggak penting, tapi yang penting
adalah proses berpikir yang telah terjadi di otak anak.
Ah, ya, ini bukan hanya tugas ibu, lho! Ayah juga wajib!
Seperti telah disinggung dimana-mana, peran ayah dalam pola asuh
memberikan kontribusi besar dalam konsep diri anak. Ayah mengajarkan
anak lebih berani dan jika ayah bisa mengungkapkan rasa kasih sayangnya,
anak akan merasa dirinya berharga. Kenapa? Karena para ayah umumnya
dikenal minim campur tangan untuk urusan keseharian anak. Karena hal ini
lah,maka yang pantas memberitahukan anak mengenai konsep diri adalah
ayah. “Kamu sangat berharga buat ayah”, kebayang nggak Mommies, kalau
ayah kita berbicara hal itu pada kita?
Bukan hanya kerjasama antara ayah dan ibu sangat penting, tapi dengan lingkungan sekitar juga.
Pertama, lingkungan yang ikut dalam pengasuhan,
misalnya nenek/ kakek, pengasuh/ pembantu, bahkan sopir juga termasuk.
Jelaskan pada mereka tujuan atau rumusan pengasuhan yang dimiliki oleh
ibu dan ayah. Pastikan mereka memahami dan menghargai tujuan tersebut
sehingga mereka mau mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam
keluarga. Apa itu rumusan pengasuhan? Baca wawancara saya dengan Ibu Elly Risman, deh!
Kedua, kerjasama dengan tetangga, sekolah atau
orangtua teman si anak. Dengan yang terakhir ini kita bisa saling
membantu untuk menjaga dan mengawasi anak-anak kita. Ingat cerita saya
mengenai pertemanan dengan sesama orangtua murid di sekolah? Saya rasa
ini bermanfaat, kok. Kadang kita memang tidak nyaman masuk ke lingkungan
baru, tapi percayalah, bagi para working mommies, salah satu sumber terpercaya mengenai kecurigaan terhadap sesuatu di lingkungan sekolah adalah dari para orangtua murid.
Ketiga, kerjasama dengan lingkungan rumah (RT/RW),
misalnya mengawasi warnet atau lokasi penyewaan permainan (rental PS,
komik atau semacamnya), pastikan bahwa disana tidak ada konten-konten
yang merusak anak-anak kita.
Setelah itu, ajari anak untuk membedakan antara orang asing, kenalan,
sahabat, teman, kerabat atau muhrim. Pasti menyenangkan, ya, kalau
punya anak ramah dengan siapapun yang baru saja ditemuinya, tapi di
zaman yang semakin edan ini, parno itu wajib!
Yang terpenting lagi, ajari anak mengenai sentuhan. Ibu Elly Risman membagi jadi 3 sentuhan:
- Sentuhan boleh atau baik, jika dilakukan di atas bahu atau di bawah lutut. Catatan, sentuhan ini dengan menggunakan tangan. Jadi kalau mencium bagaimana? Menurut saya, hanya bisa dilakukan untuk kerabat saja. O, ya, untuk pasangan yang sering bertukar cium, sebaiknya agak berhati-hati, ya, karena biar bagaimana anak adalah peniru ulung. Kalaupun melakukannya di depan anak, jelaskan pada mereka bahwa ciuman (entah di dahi, pipi atau bibir yang dilakukan) itu hanya boleh dilakukan oleh siapa dan dalam keadaan bagaimana.
- Sentuhan yang membingungkan, dilakukan di bawah bahu hingga atas lutut. Kenapa membingungkan, bagaimana kalau merangkul? Memeluk? Membingungkan karena harus bisa dibedakan maksud dan tujuan seseorang melakukan sentuhan tersebut. Tapi ajari anak untuk merasa waspada pada sentuhan model ini.
- Sentuhan jelek atau terlarang, bagian yang tertutup pakaian renang. Kalau sudah melakukan sentuhan di area ini, anak HARUS berani menolak.
Masa, sih, segitu parnonya?
Percaya kan kalau anak punya insting? Anak saya termasuk ramah pada
orang lain, tapi jika sekali waktu dia nggak mau bersalaman atau kenalan
sama orang baru, maka saya percaya instingnya mengatakan sesuatu, entah
apa, tapi ada hal yang membuat ia tidak nyaman. Untuk anak yang sudah
lebih besar, ajari ia untuk mempercayai instingnya.
Lalu ajari anak untuk berani berkata tidak pada saat ia merasa dirinya terancam oleh orang lain.
Tentu semua ini hanya bisa terjadi jika komunikasi kita dengan anak
terjalin dengan baik. Sekedar mengingatkan, yuk, baca artikel Tekhnik Komunikasi Dengan Anak.
Jika semua sudah dilakukan dan dirasa sudah bisa diterapkan, langkah
selanjutnya adalah berdoa. Yap, sekuat-kuatnya manusia, ia butuh bantuan
‘invisible hand’ kadang-kadang :)
Posting Lebih Baru Posting Lama